دون أصابع ،يحصل بِلمحاذاة بِلمناكب والرُّكَب والكِعاب
حتى ،والثاني: التراص فيه وسد الخلل والفُرج الرجليْ.
وكعبه بكعبه. ،يلصق الرجل منكبه بِنكب الرجل
Hal yang disunnahkan dalam shaf shalat itu ada 5;
Pertama, meluruskan shaf sehingga seperti gelas
berjejer. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
meluruskan pundak, lutut dan mata kaki. Kedua,
merapatkan shaf, menutup celah, sehingga
menempel pundak dan mata kaki satu dengan
lainnya5.
Meski beliau tak menyebutkan apakah
menempelkan mata kaki itu sepanjang shalat atau
hanya ketika memulai saja, tapi beliau
menyebutkan bahwa salah satu cara agar bisa lurus
yaitu dengan meluruskan pundak, lutut dan mata
kaki. Beliau menyebutkan bahwa meluruskan dan
merapatkan shaf termasuk kesunnahan dalam
shalat jamaah.
E. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman
ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-
tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Pertanyaannya adalah; apakah menempelkan
mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam
arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari
Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash
beliau SAW menyebut: harus menempel, kalau tidak
nanti masuk neraka?
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf
Bukan Tindakan dan Anjuran Nabi SAW
Bukankah haditsnya jelas Shahih? Iya sekilas
memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah
beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup
tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits
shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat
diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW
anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan
redaksinya:
يمُوا صُفُوفَكُمْ أقَِ
Tegakkah barisan kalian.
Memang Nabi memerintahkan untuk menutup
celah shaf, merapatkan barisan. Tapi apakah selalu
menempel sepanjang shalat? Ternyata para ulama
berbeda pendapat.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah
Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama.
Dalam riwayatnya disebutkan:
dan salah satu dari kami [وَكَانَ أحََدنَُا]
جُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari [رَأيَْتُ الرَّ
kami
جُلَ ] saya melihat seorang laki-laki [فَرَأيَْتُ الرَّ
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi
kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah
satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka
hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi,
hasil dari pemahamannya setelah mendengar
perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi
(w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih
menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابِ
أنه إنَّا أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنَّا يكون ذلك
ع لأن حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلَ فعل الْمي
فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على
غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan
shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada
perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan
sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang
lain, ataupun bagi orang lain.6
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi
hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi
hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki
dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi.
Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana
dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas Tidak Melakukan Hal Itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan
An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat
hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja.
Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka
lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW
sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak
melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang
saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias
anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-
Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin
Malik:
وَزَادَ مَعْمَر في روَِايتَِهِ وَلَوْ فَ عَلْتُ ذَلِكَ بَِِحَدِهِمُ الْيَ وْمَ لنََ فَرَ
كَأنََّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari
Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang
dengan salah satu dari mereka saat ini, maka
mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas.
[Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh
anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih
tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya
lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa
Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali ada yang berhujjah, jika ada suatu
perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW,
sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya,
maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi
termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu
merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat,
bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan
dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali
hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging
dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar
kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah
taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita
sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai
kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu
tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main
ancam bahwa orang yang tidak melakukannya,
dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini
adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan
memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini
sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah
mendukungnya.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata
kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang
bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri
menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam
shaf sepanjang shalat.
F. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki
”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan
harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin
al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan
bahwa yang mengatakan tidak menempel secara
hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa
menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan
tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf.
Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan
sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini
adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan
pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan
pendapat ulama madzhab empat yang
mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf
shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran
Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki,
malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu
tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu a’lam.
0 comments:
Posting Komentar