The Only Galaxy

Berbagi Dalam Keheningan

Minggu, 17 Agustus 2025

Azan, Iqamah, Qabliyah, Ba'diyah (1:2) | Fiqh

FIQIH


A. Definisi Adzan dan Iqamah
1. Adzan

Adzan secara bahasa bisa diartikan dengan
panggilan (an-nida’) atau pemberitahuan (al-i’lam(.
Namun secara istilah fuqaha yang dimaksud dengan
adzan adalah:

مُ
َ
عْلا

ْ
تُُِالإ

ْ
ةُُِبِوَق

َ
لا ةِ،ُالصَّ

َ
وض ر

ْ
مَف
ْ
ُُال اظ

َ
ف
ْ
ل
َ
ومَةُ ُبِأ

ُ
،ُمَعْل ورَة


ث
ْ
ُمَأ

ُ
َ

ةُ ُعَل
َ
وصَةُ ُصِف

ص
ْ
مَخ

Pemberitahuan perihal masuknya waktu shalat
fardhu, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang
ma’tsurah, dengan cara yang khusus.
1

Dari definisi bahasa dan istilah diatas, titik poin
adzan itu ada dua: (1) sebagai pemberitahuan
masuknya waktu shalat, dan (2) sebagai panggilan
atau ajakan kepada segenap kaum muslimin untuk
shalat berjamaah di masjid.

2. Iqamah
Secara bahasa iqamah itu mashdar dari kata kerja

aqama yang pada hakikatnya berarti membuat
orang yang sedang duduk atau berbaring menjadi
berdiri. Sedangkan secara istilah, Imam Al-Buhuti
memaparkan bahwa iqamah itu:

وصٍُ ) ص
ْ
رٍُمَخ

ْ
ُ)ُبِذِك لاةِ ُالصَّ

َ
يُْ:ُإلَ

َ
ُأ يْهَاُ(

َ
ُإل قِيَامِ

ْ
ُبِال الِإعْلام

ُ( فِيهِمَا


Pemberitahuan pelaksanaan shalat dengan lafazh
khusus2.

Dari sini bisalah kita simpulkan bahwa bahwa
iqamah adalah pemberitahuan bahwa shalat aakan
segera dilaksanakan dan dengan iqamah itu
membuat orang yang sedang duduk menjadi berdiri
untuk mengatur shaf, sehingga tidak lama setelah
iqamah selesai diharapkan shaf sudah tersusun rapi
dan shalat siap dilaksanakan.
B. Syariat Adzan dan Iqamah

Adapun perihal pensyariatannya seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari3, Muslim4, Abu
Daud5, Tirmidzi6, Ibnu Majah7, dan lainnya, bahwa
Rasulullah saw dan para sahabat awal mula setelah
adanya peristiwa hijrah dari Mekkah menuju
Madinah bermusyawarah perihal bagaimana
memberi tahu dan mengumpulkan kaum muslimin
untuk shalat di masjid.

Sebagian sahabat ada yang memberi usul dengan
menghidupkan api pada setiap waktu shalat,
sehingga mereka yang melihatnya dari jauh bisa
saling mengingatkan bahwa waktu shalat telah tiba,
namun Rasulullah saw tidak menyetujuinya.

Ada lagi yang memberi usul dengan meniup buq


(dalam riwayat Al-Bukhari), qarn (dalam riwayat
Muslim dan Nasai), qun’/syabbur (dalam riwayat
Abu Daud), yang menunjuk arti sebuah alat yang
ditiup lalu kemudian darinya keluar suara, dalam
bahasa yang lebih familiar orang-orang
menyebutnya terompet8. Tapi Rasulullah saw tidak
menyukainya, beliau menegaskan bahwa huwa min
amril yahud/
terompet itu bagian dari perkara
orang-orang Yahudi.

Lalu ada juga yang memberi usulan agar
diperdengarkan suara naqus, dengan cara kayu
besar dan panjang dipukulkan dengan kayu kecil
agar keluar suara9. Namun lagi-lagi Rasulullah saw
tidak meng-iyakan, beliau mengatakan bahwa yang
demikian sudah sering digunakan oleh orang-orang
Nasrani.

Musyawarah pada hari itu belum menghasikan
sebuah keputusan. Lalu Rasulullah saw dan para
sahabat pergi untuk kemudian perkara ini dijadikan
“pe-er” bersama.

Selang beberapa hari dari sana, adalah Abdullah
bin Zaid, sahabat Rasulullah saw ini bermimpi,
dalam mimpinya beliau melihat seseorang
membawa naqus, lalu beliau bertanya:

“Wahai hamba Allah, maukah Anda menjual an-
naqus
itu?”


“Untuk apa?”, tanya laki-laki didalam mimpi
tersebut.

“Mau kami gunakan untuk memanggil orang-orag
shalat”, jawab Abdullah bin Zaid dalam mimpi.

“Kalau begitu maukan Anda saya beri tahu cara
yang lebih baik untuk mengajak orang-orang
shalat?”, sahutnya.

“Dengan senang hati”, jawab Abdullah bin Zaid
dengan singkat.

Laki-laki tadi lalu mengajarkan lafazh adzan.
“Katakanlah:

ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُ
ولهُُمُهَمَدًاُأَنَُُأَشْهَدهُُالَلّه/ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُالَلّهُ ُاللّهَُُرَسه

ولهُُمُهَمَدًاُأَنَُُأَشْهَدهُ ُعَلَىُحَيَُُالصَلََةهُُعَلَىُحَيَُُاللّهَ/ُرَسه
/ُعَلَىُحَيَُُالْفَلََحهُُعَلَىُحَيَُُالصَلََةه/ ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُالْفَلََحه

الَلّه//ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَكْبَه/

Setelah selesai laki-laki tadi diam sejenak, lalu
kembali berkta: “Jika shalat sudah hendak
dilaksanakan maka katakanlah:

ُأَنَُُأَشْهَدهُُاللّهَ/ُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُ
ولهُُدًامُهَمَُ /ُحىُالصلَة/ُعليُحَيَُُاللّهَ/ُرَسه ُقَدُُْالْفَلََحه

ُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُالصَلََةه/ُقَامَتُُْقَدُُْالصَلََةهُُقَامَتُْ


الَلّه//ُإلَُُإلَهَُُلَُ
Ketika pagi datang, Abdullah bin Zaid menemui

Rasulullah saw dan menceritakan mimpinya kepada
Rasulullah saw. “Sungguh ini adalah mimpi yang
benar, insya Allah, sabada Rasulullah saw. Lalu
Rasulullah saw meminta kepada Abdullah bin Zaid
untuk mengajarkan lafzah adzan ini kepada Bilal,
agar Bilal adzan dengan lafazh-lafazh itu.

Tatkala sahabat Bilal pertama kali melantunkan
adzannya, Umar bin Khattab yang waktu itu sedang
berada di rumah buru-buru keluar menuju masjid,
sesampainya di masjid Umar berkata kepada
Rasulullah saw: Demi Allah, sungguh saya juga
melihat apa yang yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid
di dalam mimpi.

Usut punya usut ternyata Umar bin Khattab 20
hari sebelum ini sudah bermimpi persis seperti apa
yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid. Demikian awal
mula disyariatkannya adzan yang diambil dari
banyak riwayat yang ada.
C. Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah

Keberadaan shalat yang dimaksud dalam hadits
diatas berkisar antara shalat sunnah yang hukumnya
sunnah muakkadah dan shalat yang nilainya hanya
sebatas sunnah biasa.
1. Sunnah Muakkadah

Jumhur ulama’ menilai bahwa jumlah shalat
sunnah muakkadah yang dimaksud hanya 10
reka’at; dua reka’at sebelum sholat zuhur, dua


reka’at sesudahnya, dua reka’at setelah sholat
maghrib, dua reka’at setelah sholat isya’ dan dua
reka’at sebelum sholat subuh10.

Inilah 10 reka’at yang sangat dianjurkan menurut
sebagian besar ulama’, mereka melandaskan hal ini
atas hadits Ibnu Umar:

ُركََعَاتٍُ ُعَشْرَ ُوَسَلَمَ ُعَلَيْهه ُاللهه ُصَلَى يه ُالنَبه نَ ُمه ظْته حَفه
ُبَ عْدَُ ُوَركَْعَتَيْْه ُبَ عْدَهَا، ُوَركَْعَتَيْْه ، ُالظُّهْره ُقَ بْلَ ركَْعَتَيْْه

ُوَركَُْ ُبَ يْتههه، ُفِه غْرهبه
َ

ُالم ُوَركَْعَتَيْْه ُبَ يْتههه، ُفِه ُالعهشَاءه ُبَ عْدَ عَتَيْْه
بْحهُ قَ بْلَُصَلََةهُالصُّ

Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma berkata,”Aku
memelihara dari Nabi SAW sepuluh rakaat, yaitu
dua rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di
rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah
beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR.
Bukhari)

Akan tetapi Imam Dalama madzhab Hanafi
menambahkan bahwa sholat sebelum zuhur itu 4
rekaat, sehingga menjadi 12 reka’at, bukan 10
eka’at11. Beliau berlandaskan hadits Aisyah:

ُلَههُ ُالَلّه ُبَنََ نَةه ُالسُّ نَ ُمه ُركَْعَةً ُعَشْرَةَ ُثهنْتََْ ُعَلَى ُثََبَ رَ مَنْ


ُ ُوَركَْعَتَيْْه ، ُالظُّهْره ُقَ بْلَ ُركََعَاتٍ ُأرَْبَعه ُالجنََةه: ُفِه تًا بَ ي ْ
ُالعهشَُ ُبَ عْدَ ُوَركَْعَتَيْْه ، غْرهبه

َ
ُالم ُبَ عْدَ ُوَركَْعَتَيْْه ،ُبَ عْدَهَا، اءه

ُقَ بْلَُالفَجْرهُ وَركَْعَتَيْْه
Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Rasulullah SAW
bahwa beliau bersabda,”Orang yang selalu
menjaga dua belas rakat maka Allah SWT akan
bangunkan untuknya rumah di dalam surga.
Empat rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di
rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah
beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR. An-
Nasai dan At-Tirmizy)

2. Sunnah Ghairu Muakkadah
Sedangkan untuk shalat sunnah yang sifatnya

bukan sunnah muakkadah, seperti dua atau empat
reka’at sebelum sholat ashar, berdasarkan hadits:

ُأَرْبَ عًا امْرَأًُصَلَىُقَ بْلَُالْعَصْره مَُالَلّهُ رَحه
Allah SWT memberikan rahmat kepada seseorang
yang shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar.
(HR Abu Daud)

ُ ُالْعَصْره ُقَ بْلَ ُيهصَليهي كَُانَ ُوَسَلَمَ ُاللههُعَلَيْهه ُصَلَى َ ُالنَبه أَنَ
ركَْعَتَيْْهُ

Bahwa Rasulullah saw shalat dua rakaat sebelum


ashar (HR. Abu Daud)

Dua reka’at sebelum sholat maghrib, seperti
hadits Nabi:

ُ ،ُ غْرهبه
َ

ُالم ُصَلََةه ُقَ بْلَ ُصَلُّوا ُشَاءَُ»قَالَ: ُلهمَنْ ُالثاَلهثةَه فِه
نَةًُ ُسه ذَهَاُالنَاسه يَةَُأَنُْيَ تَخه «كَرَاهه

“Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau
mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau
bersabda,"Bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya". Beliau takut hal tersebut
dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR.
Bukhari )

Dan dua reka’at sebelum sholat isya’,
berlandaskan keumuman hadits:

ُثُهَُقاَلَُ ،ُ ُصَلَةٌَ ُأذََانَيْْه ليه كُه ُبَيَْْ ُصَلََةٌ، ُأذََانَيْْه ليه كُه بَيَْْ
ُالثاَلهثَةه:ُلهمَنُْشَاءَُ فِه

“Diantara adzan dan iqomah ada shalat, diantara
adzan dan iqomah ada shalat (kemudian dikali
ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR.
Bukhari dan Muslim)

D. Tidak Ada Shalat Sebelum Maghrib?
Terkadang ada yang beralasan bahwa mereka

langsung iqamah karena berkeyakinan tidak ada
shalat sunnah sebelum shalat maghrib. Hal ini
tentunya tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena


dalam kenyataannya justru ada perintah dari
Rasullah saw:

ُشَاءَُ ُلهمَنْ ُالثاَلهثةَه ُفِه ُقَالَ: ،ُ غْرهبه
َ

ُالم ُصَلََةه ُقَ بْلَ صَلُّوا
يَةَُأَنُْيَ تَخهُ نَةًُكَرَاهه ُسه ذَهَاُالنَاسه

“Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau
mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau
bersabda,"Bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya". Beliau takut hal tersebut
dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR.
Bukhari )

Bahkan dalam riwayat Ibnu Hibban menerangkan
bahwa Rasulullah saw sendri melaksakannya:

ُ ُوَسَلَمَُصَلَىُقَ بْلَُالْمَغْرهبه عَلَيْهه ولَُاللّهَُصَلَىُالَلّهُ أَنَُرَسه
ركَْعَتَيْْهُ

Bahwa nabi Muhammad saw mengerjakan shalat
dua rakaat sebelum maghrib (HR. Ibnu Hibban)

Imam Muslim menguatkan:

ُنصليُ ُ"كنا ُقال: ُعنه ُالله ُرضي ُأنس ُعن ُمسلم وفِ
ركعتيُْبعدُغروبُالشمس،ُوكانُالنبُصلىُاللهُعليهُ

وسلمُيرانا،ُفلمُيأمرناُولمُينهنا
Dari Anas ra, berkata: Dulu kami shalat dua rekaat
setelah terbenamnya matahari, dan Rasulullah


saw pada waktu melihat kami, dan beliau hanya
diam, tidak memerintahkan dan tidak juga
melarang (HR. Muslim)

Atas dasar inilah, dalam madzahab Syafi’i shalat
sunnah dua raka’at sebelum maghrib dinilai ada,
dan hukumya adalah sunnah, walau bukan termasuk
sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)12
E. Shalat Qabliyah Isya’

Namun sebaliknya ada sebagian masjid yang tidak
langsung iqamah setelah adzan shalat isya’, dengan
keyakinan bahwa ada shalat sunnah sebelum shalat
isya’. Padahal jika kita mau jujur, keberadaan shalat
sunnah sebelum isya itu sama hukumnya dengan
shalat sunnah sebelum maghrib, dua-duanya
dihukumi sunnah yang bukan muakkadah.

Untuk mereka yang sudah berada dimasjid
kiranya bisa menunggu jamaah yang belum datang
dengan melaksanakan shalat-shalat sunnah yang
ada, jikapun tetap berkeyakinan bahwa tidak ada
shalat sunnah sebelum shalat magrib atau isya
kiranya bisa diisi dengan aktivitas dzikir lainnya.

Jangan sampai hanya dengan keyakinan tidak ada
shalat sunnah qabliyah, dengan serta-merta itu
diajadikan alasan untuk langsung iqamah setelah
adzan. Padahal dari dulu Rasulullah saw sudah
mengingatkan kepada Bilal dan keapada siapa saja
yang menjadi muadzin untuk tetap memberikan
jedah waktu bagi jamaah agar bisa hadir ke masjid,


setelah mereka berkumpul barulah shalat
berjamaah dimulai.
F. Waktu Jedah Antara Adzan dan Iqamah

Share:

0 comments:

Posting Komentar

VISITOR

FOLLOWERS

Ruang Iklan

contoh
Jasa Pembuatan Website dan Aplikasi
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
AD DESCRIPTION
Pesan Disini!