Need Provessional Web Developer | Devcoga
Temukan di sini solusi untuk kebutuhan website anda, apapun bentuknya; pribadi, perusahaan, travel, biro haji dan umrah, sekolah,restaurant, cafe, kami siap memberikan layanan terbaik yang mungkin anda dapatkan
Fenomena Bendera One Peace di Ulang Tahun Kemerdekaan ke 80
People did not find or feel that there was a value of independence in Indonesia. They felt there was colonialism by a few people who thought that they owned this nation, so they could control and roll it as their lust
Rahasia dari Isatighfar yang barangkali Belum Tahu
sebagai pengingat kembali atau bagi yang belum tahu, inilah rahasia dibalik istighfar yang dibacakan. dengan lebih memahami artinya dan maknanya, insya allah akan lebih bermakna dan akan lebih khusuk ibadahnya, aamiin.
Desain Website: Prinsip-Prinsip Dasar dan Contohnya | Devcoga
Desain website adalah proses menciptakan tampilan dan nuansa sebuah website. Desain website yang baik akan membuat website Anda menarik, mudah digunakan, dan informatif
Website sebagai Identitas dan Citra Perusahaan | Devcoga
Identitas perusahaan adalah gambaran umum yang dimiliki oleh masyarakat tentang perusahaan, termasuk nilai-nilai, visi, misi, dan produk atau layanan yang ditawarkan perusahaan. Citra perusahaan adalah persepsi masyarakat terhadap identitas perusahaan.
Fungsi Website Sebagai Branding Dan Kepercayaan Dari Produk | Devcoga
Website memiliki fungsi yang penting sebagai branding dan kepercayaan dari produk. Berikut adalah penjelasannya:
Jumat, 05 September 2025
Minggu, 17 Agustus 2025
Azan, Iqamah, Qabliyah, Ba'diyah (2:2) | Fiqh
F. Waktu Jedah Antara Adzan dan Iqamah
Karena tempat pelaksanaan shalat berjamah
umumnya di masjid, maka adzan adalah cara terbaik
untuk memanggil jamaah agar hadir ke masjid guna
melaksanakan shalat berjamaah sebagaimana
maksud dari disyariatkannya adzan. Setiap kali
adzan berkumandang, setiap itu kita diingatkan
bahwa waktu shalat sudah masuk, dan mari segera
menjawab panggilannya dengan segera pergi ke
masjid, meninggalkan sebentar aktivitas yang
sedang dilakukan.
Mereka yang dipanggil untuk shalat tentunya
dalam keadaan yang beragam, ada yang sedang
tidur, ada juga yang sedang makan, ada yang sedang
menyetir kendaraanya, ada juga yang sedang
berjualan, ada yang masih dikamar mandi, ada yang
sedang belajar, ada juga yang sedang mengantri ke
kamar mandi, dan ragam kegiatan lainnya.
Berangkat dari kenyataan seperti inilah maka
ulama menganggap perlu adanya jedah waktu yang
pas antara adzan dan iqamah pada setiap shalat
fardhu. Hal ini sesuai dengan maksud dari adzan itu
sendiri, dimana tujuannya adalah memanggil dan
menyeru masyarakat sekitar agar hadir ke masjid.
Itu artinya, setelah adzan kita harus menungggu
mereka sebentar hingga mereka kumpul dimasjid.
Jika mereka yang kita panggil sedang makan,
kiranya kita memberikan jedah waktu hingga dia
selesai makannya, jika mereka yang kita panggil
belum dalam keadaan berwudhu, kiranya kita
memberikan jedah waktu agar dia cukup untuk
berwudhu, jika panggilan subuh dan mereka yang
dipanggil dalam keadaan junub, kiranya jangan dulu
iqamah sampai mereka diberikan watu yang cukup
untuk mandi, dan seperti itu seterusnya.
Untuk itulah Rasulullah saw pada waktu itu
mengingatkan Bilal akan hal ini:
ُأذََانهكَُوَإهقَامَتهكَُنَ فَسًاُيَ فْرهغهُالْْكهلهُ ،ُاجْعَلُْبَيَْْ يََُبهلََله
ُ ُفِه ُحَاجَتَهه ئه تَ وَضيه ُالْمه ي ُوَيَ قْضه ُمَهَلٍ، ُفِه هه ُطَعَامه نْ مه
مَهَلٍُ
“Wahai Bilal, berilah jedah waktu antara adzan da
iqamahmu, agar yang sedang makan bisa
menyelesaikan makannya, dan yang sedang
wudhu bisa menyelesaikan segala hajatnya. (HR.
Ahmad)
Juga sabda Rasulullah saw berikut:
نُْ ُمه ُالْكهله ُيَ فْرهغه ُمَا ُقَدْرَ ُوَإهقَامَتهكَ ُأذََانهكَ ُبَيَْْ وَاجْعَلْ
ُدَخَلَُ ُإهذَا ره عْتَصه
ه
ُوَالم رْبههه، ُشه نْ ُمه ُوَالشَارهبه ُُأَكْلههه، لهقَضَاءه
ُ حَاجَتههه،ُوَلَُتَ قهومهواُحَتََُّتَ رَوْنه
“Wahai, Bilal, berilah waktu jeadah antara adzan
dan iqamahmu untuk mereka agar menyelesaikan
makannya, dan menyelesaikan minumnya, juga
untuk mereka agar yang sedang buang hajat
menyelesaikannya, dan janganlah kalian iqamah
kecuali setelah melihatku” (HR. Tirmidzi)
Belum lagi ditambah dengan kenyataan bahwa
ada anjuran untuk melaksanakan shalat sunnah
antara adzan dan iqamah, jika langsung shalat
rasanya terlalu terburu-buru dengan tidak
memberikan jedah untuk mereka yang ingin
melaksanakan shalat sunnah.
Rasulullah saw mengingatkan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim:
ُثُهَُقاَلَُ ،ُ ُصَلَةٌَ ُأذََانَيْْه ليه كُه ُبَيَْْ ُصَلََةٌ، ُأذََانَيْْه ليه كُه بَيَْْ
ُالثاَلهثَةه:ُلهمَنُْشَا ءَُفِه
“Diantara dua adzan (adzan dan iqamah) ada
shalat, diantara dua adzan ada shalat, dan kali
ketiganya Rasul bersabda: bagi siapa yang mau
mengerjakannya”
Sebenarnya otoritas iqamah itu ada pada imam,
itupun jika seandainya di masjid tersebut ada imam
tetap, hal ini sesuai dengan apa yang Rasulullah saw
perintahkan kepada Bilal selaku muadzin untuk tidak
iqamah kecuali setelah melihat Rasulullah saw
datang.
Dan memang dalam beberapa riwayat disebutkan
bahwa Rasulullah saw biasanya melaksanakan shalat
sunnah dirumahnya, barulah setelah melihat
jamaah di masjid sudah banyak berkumpul beliau
keluar dari rumahnya menuju masjid yang tidak jauh
berada disebelah rumah beliau untuk mengimamai
shalat berjamaah.
Namun, jikapun harus disepakti waktu jedahnya
para ulama menilai boleh-boleh saja. Dalam hal ini
para ulama madzhab memberikan jawabannya
masing-masing:
1. Madzhab Hanafi
Al-Kasani dalam kitab Al-Bada’i' menjeskan
bahwa:
ينَُ ِ
ْ
ُعِشْ
ُ
رَأ
ْ
ُمَاُيَق ر
ْ
د
َ
جْرُِق
َ
ف
ْ
ُال ي ِ
ُف
َ
ة
َ
ُحَنِيف ي ب ِ
َ
ُأ ُعَنْ حَسَن
ْ
وَرَوَىُال
ُ عَة
ْ
ُرَك لِّ
ُ
كُ ي ِ
ُف
ُ
رَأ
ْ
ُيَق عَات
َ
عَُرَك رْب َ
َ
ُأ ي
ِ
صَل رَُمَاُي
ْ
د
َ
هْرُِق
ُّ
ُالظ ي ِ
ُ,ُوَف
ً
آيَة
ُيَُ ِ
ي ْ
َ
عَت
ْ
ُرَك ي
ِ
صَل ي ُمَاُ ار
َ
د
ْ
ُمِق عَصِْْ
ْ
ُال ي ِ
ُ,ُوَف ُآيَات ِ
ْ
مِنُْعَشْ حْوًاُ
َ
ُن
ُ
رَأ
ْ
ق
ارَُ
َ
د
ْ
ُمِق وم
رِبُِيَق
ْ
مَغ
ْ
ُال ي ِ
ُ,ُوَف ُآيَات ِ
ْ
حْوًاُمِنُْعَشْ
َ
ُن عَة
ْ
ُرَك لِّ
ُ
كُ ي ِ
ف
يْسَُ
َ
ُل ا
َ
ذ
َ
هْرُِوَه
ُّ
ُالظ ي ِ
ُف مَا
َ
كُ اءِ
َ
عِش
ْ
ُال ي ِ
ُوَف ,ُ ُآيَات
َ
لاث
َ
ُث
ُ
رَأ
ْ
ُيَق مَا
ُمَعَُ وْمَ
َ
ق
ْ
ُال حْصْ ِ ُي ُمَا ارَ
َ
د
ْ
ُمِق عَلَ
ْ
ُيَف
ْ
ن
َ
ُأ ي ِ
بَغ
ْ
يَن
َ
ُف ,ُ دِيرٍُلازِم
ْ
ق
َ
ُبِت
ُفِيهَاُ صَل
ْ
ف ُي لا
َ
ُف رِب
ْ
مَغ
ْ
ُال ا مَّ
َ
ُوَأ حَبِّ
َ
سْت م
ْ
ُال تِ
ْ
وَق
ْ
ُال رَاعَاةِ م
ُ ِ
ي ْ
َ
ت
َ
فِيف
َ
ُخ ِ
ي ْ
َ
عَت
ْ
ُبِرَك صَل
ْ
ف ُي :ُ ُّ افِغِي
َّ
ُالش الَ
َ
ُوَق ,ُ ا
َ
دن
ْ
ُعِن لاةِ بِالصَّ
ُصلُاللهُ ِّ ي ب ِ
َّ
وِيَُعَنُْالن اُ(ُمَاُر
َ
ن
َ
وَاتُِ.ُ)ُوَل
َ
ل اعْتِبَارًاُبِسَائِرُِالصَّ
ُوُ ُإلاُعليه اءَ
َ
ُش ُلِمَنْ
ٌ
ُصَلاة ِ
ي ْ
َ
ان
َ
ذ
َ
ُأ لِّ
ُ
كُ ُبَي ْ َ {ُ :ُ الَ
َ
ُق
ه
َّ
ن
َ
ُأ سلم
عْجِيلُِلِمَاُ
َّ
ُالت
َ
رِبُِعَل
ْ
مَغ
ْ
ُال ُمَبْب َ
َّ
ن
َ
ُ,ُوَلأ صٌّ
َ
اُن
َ
ذ
َ
رِبَُ{ُ,ُوَه
ْ
مَغ
ْ
ال
ُصلُ ِ
ه
ولُِاللَّ ُاللهُعنهُعَنُْرَس ي
ُرض صَارِيُّ
ْ
ن
َ
وبَُالأ يُّ
َ
وُأ ب
َ
رَوَىُأ
ُ
َ
ُق
ه
َّ
ن
َ
واُاللهُعليهُوسلمُأ ر
ِّ
خ
َ
ؤ مُْي
َ
ُمَاُل ٍ
ْ
ي
َ
ُبِخ ي ِ
ب مَّ
ُ
زَالَُأ
َ
نُْت
َ
الَُ:ُ}ُل
هَاُ,ُ
َ
ُل ٌ خِي
ْ
أ
َ
لاةُِت ُبِالصَّ صْل
َ
ف
ْ
ومُِ{ُ,ُوَال ج
ُّ
تِبَاكُِالن
ْ
ُاش
َ
رِبَُإلَ
ْ
مَغ
ْ
ال
وُ ب
َ
ُأ الَ
َ
ُق ُ؟ وسِ
ُ
ل ج
ْ
ُبِال صَل
ْ
ف ُي لْ
َ
ُوَه ,ُ لاةِ ُبِالصَّ صَل
ْ
ف ُي لا
َ
ف
وُ ب
َ
الَُأ
َ
ُ.ُوَق صَل
ْ
ف ُ:ُلاُي
َ
ة
َ
ُحَنِيف
ٌ
د حَمَّ فَُوَم وس ُُ-ي
ه
مَاُاللَّ رَحِمَه
ُ
َ
عَالَ
َ
ُُ-ت ِ
ي ْ
َ
طْبَت
خ
ْ
ُال ُبَي ْ َ ي ِ
ب
ه
سَةُِال
ْ
جَل
ْ
ال
َ
كُ ة
َ
فِيف
َ
ُخ سَة
ْ
ُبِجَل صَل
ْ
ف :ُي
Dalam dalam pandangan Imam Abu Hanifah
waktu jedah untuk adzan subuh selama durasi
membaca 20 ayat Al-Quran dengan bacaan tartil,
untuk shalat zuhur jedah waktunya sebatas
mengerjakan empat raka’at shalat sunnah, pada
setiap rekaatnya selama membaca 10 ayat, sedang
untuk adzan ashar waktunya cukup untuk
mengerjakan shalat sunnah dua raka’at, pada setiap
rakaatnya selama membaca 10 ayat, dan waktu
jedah untuk adzan magrib selama membaca 3 ayat,
dan waktu jedah untuk adzan isyak seperti waktu
jedah untuk adzan zuhur13.
Lebih lanjut, masih didalam teks diatas, dalam
madzhab Hanafi, memang iqamah setelah adzan
maghrib disunnhakan untuk disegerakan, namun
makna disegerakan itu dalam internal madzhab ini
juga tidak satu kata, sebagian ulama dalam
madzhab ini menilai disegerakan yang dimaksud
tidak menjedahnya dengan shalat sunnah, namun
cukup dengan duduk sebentar seperti duduknya
khotib diantara dua khutbah, ini pendapat Abu
Yusuf murid Imam Abu Hanifah, namun sebagian
yang lain malah berpendapat tidak harus duduk
sebentar tapi langsung iqamah saja dan ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah.
2. Madzhab Maliki
Imam Al-Qarafi salah satu ulama dalam madzhab
Maliki menjelaskan di dalam kitab Adz-Dzakhirah:
ةُ
َ
ُحنيف ي وَعندُأب اُ
َ
مغربُعندن
ْ
ُال
َّ
امَةُإِلَّ
َ
ق ِ
ْ
انُِوَالإ
َ
ذ
َ ْ
ُالأ ُبَي ْ َ صِل
ْ
يَف
ُ ِ
ي ْ
َ
طْبَت
خ
ْ
ال
َ
كُ سَة
ْ
ُبِجِل مَا ه
َ
ُبَيْن صْلِ
َ
ف
ْ
ُال ي ِ
ُف ُلِصَاحِبَيْهِ ا
ً
ف
َ
خِلَ
ُ
َ
صْلُِبَيْن
َ
ف
ْ
ُال ي ِ
ُف ِّ افِغِي
َّ
ُوَلِلش ِ
ي ْ
َ
ت
َ
فِيف
َ
ُخ ِ
ي ْ
َ
عَت
ْ
مَاُبِرَك ه
Antara adzan dan iqamah diberikan waktu jedah
kecuali waktu maghrib, ini adalah pendapat kami
(madzhab Maliki) dan pendapat Imam Abu Hanifah,
berbeda dengan pendapat kedua murid Imam Abu
Hanifah yang menilai bahwa waktu maghrin tetap
diberikan waktu jedah duduk sebentar seperti
duduknya diantara dua khutbah, dan berbeda juga
dengan pandangan madzhab As-Syafi’I yang menilai
pada waktu maghrib tetap diberikan jedah waktu
untuk pelaksanaan shalat dua rakaat14.
3. Madzhab Syafi’i
Menurut madzhab Syafi’i seperti yang dijelaskan
dalam kitab Al-Majmu’ bahwa:
وُْ
َ
ُأ ة
َ
عْد
َ
اُبِق ً ُيَسِي
ً
صْلَ
َ
امَتِهَاُف
َ
انِهَاُوَإِق
َ
ذ
َ
ُأ صِلَُبَي ْ َ
ْ
ُيَف
ْ
ن
َ
ُأ حَبُّ
َ
سْت ي
اُ
َ
ن ب
َ
ه
ْ
مَذ اُ
َ
ذ
َ
حْوِهِمَاُه
َ
وُْن
َ
ُأ وت
ُ
ك س
Para ulama madzhab As-Syafii sepakat bahwa
mustahab (disukai) untuk memberi jedah antara
adzan dan iqamah pada waktu maghrib dengan
duduk atau diam sebentar15
Dilain tempat, imam Zakariya Al-Anshari dalam
kitab Asna Al-Mathalib menambahkan:
رُِ)
ْ
د
َ
ُ)بِق امَةِ
َ
ق ِ
ْ
ُوَالإ انِ
َ
ذ
َ ْ
ُالأ ُبَي ْ َ مَامِ ِ
ْ
ُالإ ُمَعَ
ن
ِّ
ذ
َ
ؤ م
ْ
ُال ) صِل
ْ
وَيَف
ُاجْتِمَُ ي ِ
ب
ه
ُال ةِ(
َّ
ن ُالسُّ اءِ
َ
د
َ
رُِ)أ
ْ
د
َ
ُبِق ُ)وَ( ةِ
َ
لَ ُالصَّ انِ
َ
ُمَك ي ِ
اسِ(ُف
َّ
ُالن اعِ
ُ ي ِ
ُ)ف مَا ه
َ
ُبَيْن صِل
ْ
ُيَف ُ)وَ(
ٌ
ة
َّ
ن ُس هَا
َ
بْل
َ
ُق
َ
ان
َ
كُ
ْ
ُإن ةِ
َ
رِيض
َ
ف
ْ
ُال بْلَ
َ
ق
ةُ
َ
طِيف
َ
ُل ة
َ
ت
ْ
رِبُِبِسَك
ْ
مَغ
ْ
ُ(ال
Muadzin hendaknya memberikan jedah antara
adzan dan iqamahnya sebatas jamaah shalat
sudah berkumpul di masjid, atau sebalama
seseorang melaksanakan shalat sunnnah
qabliyah, dan untuk untuk waktu maghrib juga
diberikan waktu jedah sebentar saja16.
Jadi dalam madzhab ini tidak ketentuan khusus
seberapa lama waktu jedah antara adzan dan
iqamah, ketentuannya flexible saja, sebatas
menunggu jamaah hadi, baru kemudian iqamah bisa
di kumandangkan sebagai tanda dimulainya shalat
berjamaah.
4. Madzhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah menuliskan:
ُ
َ ْ
ُالأ ُبَي ْ َ صِلَ
ْ
ُيَف
ْ
ن
َ
ُأ حَبُّ
َ
سْت وءُِوَي
ض و
ْ
ُال رِ
ْ
د
َ
ُبِق امَةِ،
َ
ق ِ
ْ
ُوَالإ انِ
َ
ذ
ُ سَة
ْ
ُبِجَل صِلَ
ْ
ُيَف رِبِ
ْ
مَغ
ْ
ُال ي ِ
ُوَف ُفِيهَا،
َ
ون
ئ هَيَّ
َ
ُيَت ، ِ
ي ْ
َ
عَت
ْ
ُرَك ةِ
َ
وَصَلَ
ةُ
َ
فِيف
َ
خ
Mustahab (disukai) untuk membeikan jedah
abtara adzan dan iqamah cukup bagi seseorang
untuk berwudhu dan shalat sunnah dua rakaat
serta kesiapan yang lainnyam khusus untuk waktu
maghrib diberi jedah hanya sebatas duduk
sebentar saja17.
Imam Al-Buhuti sebagai salah satu ulama
bermadzhab Hanbali mempertegas bahwa:
ُ( ُ (ُ انِ
َ
ذ
َ
ُالأ
َ
ُبَعْد )ُ
َ
امَة
َ
ُالِإق رَ
ِّ
خ
َ
ؤ ُي
ْ
ن
َ
ُأ سَنُّ ُوَي
غ ر
ْ
ُيَف ُمَا )ُ رِ
ْ
د
َ
بِق
ُ(ُ رِ
ْ
د
َ
ُبِق )ُ ُوَ (ُ ائِطِهِ
َ
ُوَغ ُبَوْلِهِ :ُ يْ
َ
ُأ )ُ ُحَاجَتهِ (ُ ُمِنْ
سَان
ْ
الِإن
يُْ
َ
حْوِهُِ(ُأ
َ
لِهُِوَن
ْ
ك
َ
ُمِنُْأ ُالآكِل
َ
ر غ
ْ
ُ,ُوَلِيَف ِ
ي ْ
َ
عَت
ْ
وئِهُِ,ُوَصَلاةُِرَك
ض و
ُصل َّ ي ب ِ
َّ
ُالن
َّ
ن
َ
ُلِحَدِيثُِجَابِرٍُأ بِهِ ْ
ُشْ ارِبُِمِنْ
َّ
الش
َ
كُ اللهُعليهُُ:
ُ
ر غ
ْ
ُيَف رَُمَا
ْ
د
َ
امَتِكُق
َ
انِكُوَإِق
َ
ذ
َ
ُأ ُبَي ْ َ ُاجْعَلْ {ُ ُلِبِلال الَ
َ
وسلمُق
لَُ
َ
خ
َ
ُد ا
َ
ُإذ ي ِ
ض
َ
ت
ْ
ق م
ْ
ُوَال ,ُ بِهِ ْ
ُشْ ُمِنْ ارِب
َّ
ُوَالش ,ُ لِهِ
ْ
ك
َ
ُأ ُمِنْ الآكِل
ُ ي ِ
ُف (ُ سَنُّ ُي ُوَُ( (ُ .ُ مِذِيُّ ْ
دُوَالي ِّ او
َ
وُد ب
َ
ُأ ُرَوَاه }ُ ُحَاجَتِهِ اءِ
َ
ض
َ
لِق
ُ
ْ
امَةُِ)ُال
َ
يُْ:ُالِإق
َ
هَاُ(ُأ
َ
بْل
َ
ُ)ُيَجْلِسَُق
ْ
ن
َ
هَاُأ
َ
ُل
َ
ن
َّ
ذ
َ
اُأ
َ
يُْ:ُإذ
َ
رِبُِ(ُأ
ْ
مَغ
ُ
ً
ة
َ
فِيف
َ
ُخ
ً
سَة
ْ
( جِل
Disunnahkan untuk mengakhirkan iqamah setelah
adzan selama seseorang bisa menyelesaikan
hajatnya; selesai dari buag air, selesai dari
wudhunya, selesai dari shalat sunnah dua rakaat,
dan selesainya orang yang lagi makan dan
minum, dan juga disunnahkan pada waktu
maghrib setelah adzan untuk duduk sebentar
sebelum iqamah.18
Sama seperti sebelumnya bahwa dalam
pandangan madzhab Hanbali sunnah hukumnya
memberikan waktu jedah untuk setiap waktu shalat,
hanya saja waktu jedahnya diserahkan kebijakannya
kepada situasi dimasyarkat setempat, dan khusus
untuk waktu maghrib waktu jedahnya lebih pendek
dari pada waktu jedah pada waktu shalat lainnya.
Setelah membaca dan melihat pendapat dalam
masing-masing madzhab, sebenarnya tidak ada
ketentuan khsusus dalam masalah batasan waktu
jedah antara adzan dan iqamah ini, termasuk waktu
yang diberikan dalam madzhab Hanafi itu juga lazim
(tidak harus) persis seperti itu.
Karenanya masalah ini sifatnya sangat flexibel
sekali, dan menurut hemat penulis tidak masalah
juga atau bahkan malah bagus jika batasan waktu
itu disepakati bersama berdasarkan menit, misalnya
saja waktu iqamah pada shalat subuh adalah 15
menit setelah adzan, untuk zuhur 15 menit juga,
ashar 10 menit, maghrib 5 menit, dan isyak 10
menit, dengan demikian akan lebih teratur dan
pastinya lebih konsisten, sehingga maksud dari
adzan itu tersamapaikan, yaitu memberi tahu
masuknya waktu shalat dan memanggil orang-orang
yang berada diluar masjid untuk segera ke masjid,
dan tentunya orang yang dipanggil butuh waktu
untuk merapat ke masjid.
G. Kesimpulan
Shalat berjamaah di masjid itu pastinya lebih baik
ketimbang shalat sendirian, dan setiap kali
masuknya waktu shalat biasanya diberitahu dengan
adzan, adzan selain bertujuan untuk memberi tahu
masuk waktu shalat juga berfungsi sebagai
panggilan atau ajakan untuk shalat berjamaah.
Mereka yang dipanggil tentunya berada dalam
kondisi yang beragam, ada yang sudah berada
dimasjid, ada yang masih di kantornya, ada yang
sedang otw (on the way) ke masjid, ada sedang
makan, ada di kamar mandi, ada masih antri wudhu,
dan kalau malam hari ada yang mungkin masih
tidur, ada baru melek, ada yang butuh mandi wajib
dulu, ada yang manasin motor, dst, kondisi inilah
yang akhirnya membuat seorang muadzin kudu
menunggu jamaah sebelum iqamah, terlepas ada
atau tidaknya shalat sunnah qabliyah, mau atau
tidakmaunya melaksanakan shalat sunnah tersebut.
Atas dasar beragama kondisi inilah akhirnya
Rasulullah saw berpesan kepada Bilal yang waktu itu
menjadi muadzin tetapnya RAsulullah saw:
ُأذََانهكَُوَإهقَامَتهكَُنَ فَسًاُيَ فْرهغهُالْْكهلهُ ،ُاجْعَلُْبَيَْْ يََُبهلََله
ُ ُفِه ُحَاجَتَهه ئه تَ وَضيه ُالْمه ي ُوَيَ قْضه ُمَهَلٍ، ُفِه هه ُطَعَامه نْ مه
مَهَلٍُ
“Wahai Bilal, berilah jedah waktu antara adzan da
iqamahmu, agar yang sedang makan bisa
menyelesaikan makannya, dan yang sedang
wudhu bisa menyelesaikan segala hajatnya. (HR.
Ahmad)
Juga sabda Rasulullah saw berikut:
ُ ُمَا ُقَدْرَ ُوَإهقَامَتهكَ ُأذََانهكَ ُبَيَْْ نُْوَاجْعَلْ ُمه ُالْكهله يَ فْرهغه
ُ ُلهقَضَاءه ُدَخَلَ ُإهذَا ره عْتَصه
ه
ُوَالم رْبههه، ُشه نْ ُمه ُوَالشَارهبه أَكْلههه،
ُ حَاجَتههه،ُوَلَُتَ قهومهواُحَتََُّتَ رَوْنه
“Wahai, Bilal, berilah waktu jeadah antara adzan
dan iqamahmu untuk mereka agar menyelesaikan
makannya, dan menyelesaikan minumnya, juga
untuk mereka agar yang sedang buang hajat
menyelesaikannya, dan janganlah kalian iqamah
kecuali setelah melihatku” (HR. Tirmidzi)
Wallahu A’lam Bisshawab
Azan, Iqamah, Qabliyah, Ba'diyah (1:2) | Fiqh
A. Definisi Adzan dan Iqamah
1. Adzan
Adzan secara bahasa bisa diartikan dengan
panggilan (an-nida’) atau pemberitahuan (al-i’lam(.
Namun secara istilah fuqaha yang dimaksud dengan
adzan adalah:
مُ
َ
عْلا
ْ
تُُِالإ
ْ
ةُُِبِوَق
َ
لا ةِ،ُالصَّ
َ
وض ر
ْ
مَف
ْ
ُُال اظ
َ
ف
ْ
ل
َ
ومَةُ ُبِأ
ُ
،ُمَعْل ورَة
ث
ْ
ُمَأ
ُ
َ
ةُ ُعَل
َ
وصَةُ ُصِف
ص
ْ
مَخ
Pemberitahuan perihal masuknya waktu shalat
fardhu, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang
ma’tsurah, dengan cara yang khusus.1
Dari definisi bahasa dan istilah diatas, titik poin
adzan itu ada dua: (1) sebagai pemberitahuan
masuknya waktu shalat, dan (2) sebagai panggilan
atau ajakan kepada segenap kaum muslimin untuk
shalat berjamaah di masjid.
2. Iqamah
Secara bahasa iqamah itu mashdar dari kata kerja
aqama yang pada hakikatnya berarti membuat
orang yang sedang duduk atau berbaring menjadi
berdiri. Sedangkan secara istilah, Imam Al-Buhuti
memaparkan bahwa iqamah itu:
وصٍُ ) ص
ْ
رٍُمَخ
ْ
ُ)ُبِذِك لاةِ ُالصَّ
َ
يُْ:ُإلَ
َ
ُأ يْهَاُ(
َ
ُإل قِيَامِ
ْ
ُبِال الِإعْلام
ُ( فِيهِمَا
Pemberitahuan pelaksanaan shalat dengan lafazh
khusus2.
Dari sini bisalah kita simpulkan bahwa bahwa
iqamah adalah pemberitahuan bahwa shalat aakan
segera dilaksanakan dan dengan iqamah itu
membuat orang yang sedang duduk menjadi berdiri
untuk mengatur shaf, sehingga tidak lama setelah
iqamah selesai diharapkan shaf sudah tersusun rapi
dan shalat siap dilaksanakan.
B. Syariat Adzan dan Iqamah
Adapun perihal pensyariatannya seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari3, Muslim4, Abu
Daud5, Tirmidzi6, Ibnu Majah7, dan lainnya, bahwa
Rasulullah saw dan para sahabat awal mula setelah
adanya peristiwa hijrah dari Mekkah menuju
Madinah bermusyawarah perihal bagaimana
memberi tahu dan mengumpulkan kaum muslimin
untuk shalat di masjid.
Sebagian sahabat ada yang memberi usul dengan
menghidupkan api pada setiap waktu shalat,
sehingga mereka yang melihatnya dari jauh bisa
saling mengingatkan bahwa waktu shalat telah tiba,
namun Rasulullah saw tidak menyetujuinya.
Ada lagi yang memberi usul dengan meniup buq
(dalam riwayat Al-Bukhari), qarn (dalam riwayat
Muslim dan Nasai), qun’/syabbur (dalam riwayat
Abu Daud), yang menunjuk arti sebuah alat yang
ditiup lalu kemudian darinya keluar suara, dalam
bahasa yang lebih familiar orang-orang
menyebutnya terompet8. Tapi Rasulullah saw tidak
menyukainya, beliau menegaskan bahwa huwa min
amril yahud/ terompet itu bagian dari perkara
orang-orang Yahudi.
Lalu ada juga yang memberi usulan agar
diperdengarkan suara naqus, dengan cara kayu
besar dan panjang dipukulkan dengan kayu kecil
agar keluar suara9. Namun lagi-lagi Rasulullah saw
tidak meng-iyakan, beliau mengatakan bahwa yang
demikian sudah sering digunakan oleh orang-orang
Nasrani.
Musyawarah pada hari itu belum menghasikan
sebuah keputusan. Lalu Rasulullah saw dan para
sahabat pergi untuk kemudian perkara ini dijadikan
“pe-er” bersama.
Selang beberapa hari dari sana, adalah Abdullah
bin Zaid, sahabat Rasulullah saw ini bermimpi,
dalam mimpinya beliau melihat seseorang
membawa naqus, lalu beliau bertanya:
“Wahai hamba Allah, maukah Anda menjual an-
naqus itu?”
“Untuk apa?”, tanya laki-laki didalam mimpi
tersebut.
“Mau kami gunakan untuk memanggil orang-orag
shalat”, jawab Abdullah bin Zaid dalam mimpi.
“Kalau begitu maukan Anda saya beri tahu cara
yang lebih baik untuk mengajak orang-orang
shalat?”, sahutnya.
“Dengan senang hati”, jawab Abdullah bin Zaid
dengan singkat.
Laki-laki tadi lalu mengajarkan lafazh adzan.
“Katakanlah:
ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُ
ولهُُمُهَمَدًاُأَنَُُأَشْهَدهُُالَلّه/ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُالَلّهُ ُاللّهَُُرَسه
ولهُُمُهَمَدًاُأَنَُُأَشْهَدهُ ُعَلَىُحَيَُُالصَلََةهُُعَلَىُحَيَُُاللّهَ/ُرَسه
/ُعَلَىُحَيَُُالْفَلََحهُُعَلَىُحَيَُُالصَلََةه/ ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُالْفَلََحه
الَلّه//ُإلَُُإلَهَُُلَُُأَكْبَه/
Setelah selesai laki-laki tadi diam sejenak, lalu
kembali berkta: “Jika shalat sudah hendak
dilaksanakan maka katakanlah:
ُأَنَُُأَشْهَدهُُاللّهَ/ُإلَهَُُلَُُأَنُُْأَشْهَدهُُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُ
ولهُُدًامُهَمَُ /ُحىُالصلَة/ُعليُحَيَُُاللّهَ/ُرَسه ُقَدُُْالْفَلََحه
ُأَكْبَه/ُالَلّهُُأَكْبَهُُالَلّهُُالصَلََةه/ُقَامَتُُْقَدُُْالصَلََةهُُقَامَتُْ
الَلّه//ُإلَُُإلَهَُُلَُ
Ketika pagi datang, Abdullah bin Zaid menemui
Rasulullah saw dan menceritakan mimpinya kepada
Rasulullah saw. “Sungguh ini adalah mimpi yang
benar, insya Allah, sabada Rasulullah saw. Lalu
Rasulullah saw meminta kepada Abdullah bin Zaid
untuk mengajarkan lafzah adzan ini kepada Bilal,
agar Bilal adzan dengan lafazh-lafazh itu.
Tatkala sahabat Bilal pertama kali melantunkan
adzannya, Umar bin Khattab yang waktu itu sedang
berada di rumah buru-buru keluar menuju masjid,
sesampainya di masjid Umar berkata kepada
Rasulullah saw: Demi Allah, sungguh saya juga
melihat apa yang yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid
di dalam mimpi.
Usut punya usut ternyata Umar bin Khattab 20
hari sebelum ini sudah bermimpi persis seperti apa
yang dilihat oleh Abdullah bin Zaid. Demikian awal
mula disyariatkannya adzan yang diambil dari
banyak riwayat yang ada.
C. Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah
Keberadaan shalat yang dimaksud dalam hadits
diatas berkisar antara shalat sunnah yang hukumnya
sunnah muakkadah dan shalat yang nilainya hanya
sebatas sunnah biasa.
1. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama’ menilai bahwa jumlah shalat
sunnah muakkadah yang dimaksud hanya 10
reka’at; dua reka’at sebelum sholat zuhur, dua
reka’at sesudahnya, dua reka’at setelah sholat
maghrib, dua reka’at setelah sholat isya’ dan dua
reka’at sebelum sholat subuh10.
Inilah 10 reka’at yang sangat dianjurkan menurut
sebagian besar ulama’, mereka melandaskan hal ini
atas hadits Ibnu Umar:
ُركََعَاتٍُ ُعَشْرَ ُوَسَلَمَ ُعَلَيْهه ُاللهه ُصَلَى يه ُالنَبه نَ ُمه ظْته حَفه
ُبَ عْدَُ ُوَركَْعَتَيْْه ُبَ عْدَهَا، ُوَركَْعَتَيْْه ، ُالظُّهْره ُقَ بْلَ ركَْعَتَيْْه
ُوَركَُْ ُبَ يْتههه، ُفِه غْرهبه
َ
ُالم ُوَركَْعَتَيْْه ُبَ يْتههه، ُفِه ُالعهشَاءه ُبَ عْدَ عَتَيْْه
بْحهُ قَ بْلَُصَلََةهُالصُّ
Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhuma berkata,”Aku
memelihara dari Nabi SAW sepuluh rakaat, yaitu
dua rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di
rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah
beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR.
Bukhari)
Akan tetapi Imam Dalama madzhab Hanafi
menambahkan bahwa sholat sebelum zuhur itu 4
rekaat, sehingga menjadi 12 reka’at, bukan 10
eka’at11. Beliau berlandaskan hadits Aisyah:
ُلَههُ ُالَلّه ُبَنََ نَةه ُالسُّ نَ ُمه ُركَْعَةً ُعَشْرَةَ ُثهنْتََْ ُعَلَى ُثََبَ رَ مَنْ
ُ ُوَركَْعَتَيْْه ، ُالظُّهْره ُقَ بْلَ ُركََعَاتٍ ُأرَْبَعه ُالجنََةه: ُفِه تًا بَ ي ْ
ُالعهشَُ ُبَ عْدَ ُوَركَْعَتَيْْه ، غْرهبه
َ
ُالم ُبَ عْدَ ُوَركَْعَتَيْْه ،ُبَ عْدَهَا، اءه
ُقَ بْلَُالفَجْرهُ وَركَْعَتَيْْه
Dari Aisyah radhiyallahuanha dari Rasulullah SAW
bahwa beliau bersabda,”Orang yang selalu
menjaga dua belas rakat maka Allah SWT akan
bangunkan untuknya rumah di dalam surga.
Empat rakaat sebelum Dzhuhur, dua rakaat
sesudahnya, dua rakaat sesudah Maghrib di
rumah beliau, dua rakaat sesudah Isya’ di rumah
beliau, dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR. An-
Nasai dan At-Tirmizy)
2. Sunnah Ghairu Muakkadah
Sedangkan untuk shalat sunnah yang sifatnya
bukan sunnah muakkadah, seperti dua atau empat
reka’at sebelum sholat ashar, berdasarkan hadits:
ُأَرْبَ عًا امْرَأًُصَلَىُقَ بْلَُالْعَصْره مَُالَلّهُ رَحه
Allah SWT memberikan rahmat kepada seseorang
yang shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar.
(HR Abu Daud)
ُ ُالْعَصْره ُقَ بْلَ ُيهصَليهي كَُانَ ُوَسَلَمَ ُاللههُعَلَيْهه ُصَلَى َ ُالنَبه أَنَ
ركَْعَتَيْْهُ
Bahwa Rasulullah saw shalat dua rakaat sebelum
ashar (HR. Abu Daud)
Dua reka’at sebelum sholat maghrib, seperti
hadits Nabi:
ُ ،ُ غْرهبه
َ
ُالم ُصَلََةه ُقَ بْلَ ُصَلُّوا ُشَاءَُ»قَالَ: ُلهمَنْ ُالثاَلهثةَه فِه
نَةًُ ُسه ذَهَاُالنَاسه يَةَُأَنُْيَ تَخه «كَرَاهه
“Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau
mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau
bersabda,"Bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya". Beliau takut hal tersebut
dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR.
Bukhari )
Dan dua reka’at sebelum sholat isya’,
berlandaskan keumuman hadits:
ُثُهَُقاَلَُ ،ُ ُصَلَةٌَ ُأذََانَيْْه ليه كُه ُبَيَْْ ُصَلََةٌ، ُأذََانَيْْه ليه كُه بَيَْْ
ُالثاَلهثَةه:ُلهمَنُْشَاءَُ فِه
“Diantara adzan dan iqomah ada shalat, diantara
adzan dan iqomah ada shalat (kemudian dikali
ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR.
Bukhari dan Muslim)
D. Tidak Ada Shalat Sebelum Maghrib?
Terkadang ada yang beralasan bahwa mereka
langsung iqamah karena berkeyakinan tidak ada
shalat sunnah sebelum shalat maghrib. Hal ini
tentunya tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena
dalam kenyataannya justru ada perintah dari
Rasullah saw:
ُشَاءَُ ُلهمَنْ ُالثاَلهثةَه ُفِه ُقَالَ: ،ُ غْرهبه
َ
ُالم ُصَلََةه ُقَ بْلَ صَلُّوا
يَةَُأَنُْيَ تَخهُ نَةًُكَرَاهه ُسه ذَهَاُالنَاسه
“Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau
mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau
bersabda,"Bagi siapa saja yang mau
melaksanakannya". Beliau takut hal tersebut
dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR.
Bukhari )
Bahkan dalam riwayat Ibnu Hibban menerangkan
bahwa Rasulullah saw sendri melaksakannya:
ُ ُوَسَلَمَُصَلَىُقَ بْلَُالْمَغْرهبه عَلَيْهه ولَُاللّهَُصَلَىُالَلّهُ أَنَُرَسه
ركَْعَتَيْْهُ
Bahwa nabi Muhammad saw mengerjakan shalat
dua rakaat sebelum maghrib (HR. Ibnu Hibban)
Imam Muslim menguatkan:
ُنصليُ ُ"كنا ُقال: ُعنه ُالله ُرضي ُأنس ُعن ُمسلم وفِ
ركعتيُْبعدُغروبُالشمس،ُوكانُالنبُصلىُاللهُعليهُ
وسلمُيرانا،ُفلمُيأمرناُولمُينهنا
Dari Anas ra, berkata: Dulu kami shalat dua rekaat
setelah terbenamnya matahari, dan Rasulullah
saw pada waktu melihat kami, dan beliau hanya
diam, tidak memerintahkan dan tidak juga
melarang (HR. Muslim)
Atas dasar inilah, dalam madzahab Syafi’i shalat
sunnah dua raka’at sebelum maghrib dinilai ada,
dan hukumya adalah sunnah, walau bukan termasuk
sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)12
E. Shalat Qabliyah Isya’
Namun sebaliknya ada sebagian masjid yang tidak
langsung iqamah setelah adzan shalat isya’, dengan
keyakinan bahwa ada shalat sunnah sebelum shalat
isya’. Padahal jika kita mau jujur, keberadaan shalat
sunnah sebelum isya itu sama hukumnya dengan
shalat sunnah sebelum maghrib, dua-duanya
dihukumi sunnah yang bukan muakkadah.
Untuk mereka yang sudah berada dimasjid
kiranya bisa menunggu jamaah yang belum datang
dengan melaksanakan shalat-shalat sunnah yang
ada, jikapun tetap berkeyakinan bahwa tidak ada
shalat sunnah sebelum shalat magrib atau isya
kiranya bisa diisi dengan aktivitas dzikir lainnya.
Jangan sampai hanya dengan keyakinan tidak ada
shalat sunnah qabliyah, dengan serta-merta itu
diajadikan alasan untuk langsung iqamah setelah
adzan. Padahal dari dulu Rasulullah saw sudah
mengingatkan kepada Bilal dan keapada siapa saja
yang menjadi muadzin untuk tetap memberikan
jedah waktu bagi jamaah agar bisa hadir ke masjid,
setelah mereka berkumpul barulah shalat
berjamaah dimulai.
F. Waktu Jedah Antara Adzan dan Iqamah
Sabtu, 16 Agustus 2025
Menempelkan Kaki dalam Shalat Berjama'ah; Haruskah ? (4:4) | Fiqh
دون أصابع ،يحصل بِلمحاذاة بِلمناكب والرُّكَب والكِعاب
حتى ،والثاني: التراص فيه وسد الخلل والفُرج الرجليْ.
وكعبه بكعبه. ،يلصق الرجل منكبه بِنكب الرجل
Hal yang disunnahkan dalam shaf shalat itu ada 5;
Pertama, meluruskan shaf sehingga seperti gelas
berjejer. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
meluruskan pundak, lutut dan mata kaki. Kedua,
merapatkan shaf, menutup celah, sehingga
menempel pundak dan mata kaki satu dengan
lainnya5.
Meski beliau tak menyebutkan apakah
menempelkan mata kaki itu sepanjang shalat atau
hanya ketika memulai saja, tapi beliau
menyebutkan bahwa salah satu cara agar bisa lurus
yaitu dengan meluruskan pundak, lutut dan mata
kaki. Beliau menyebutkan bahwa meluruskan dan
merapatkan shaf termasuk kesunnahan dalam
shalat jamaah.
E. Point-Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman
ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-
tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Pertanyaannya adalah; apakah menempelkan
mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam
arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari
Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash
beliau SAW menyebut: harus menempel, kalau tidak
nanti masuk neraka?
1. Menempelkan Mata Kaki Dalam Shaf
Bukan Tindakan dan Anjuran Nabi SAW
Bukankah haditsnya jelas Shahih? Iya sekilas
memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah
beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup
tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits
shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat
diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW
anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan
redaksinya:
يمُوا صُفُوفَكُمْ أقَِ
Tegakkah barisan kalian.
Memang Nabi memerintahkan untuk menutup
celah shaf, merapatkan barisan. Tapi apakah selalu
menempel sepanjang shalat? Ternyata para ulama
berbeda pendapat.
2. Menempelkan Mata Kaki Adalah
Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama.
Dalam riwayatnya disebutkan:
dan salah satu dari kami [وَكَانَ أحََدنَُا]
جُلَ مِنَّا] saya melihat seorang laki-laki dari [رَأيَْتُ الرَّ
kami
جُلَ ] saya melihat seorang laki-laki [فَرَأيَْتُ الرَّ
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi
kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah
satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka
hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi,
hasil dari pemahamannya setelah mendengar
perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi
(w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih
menyebutkan:
ويدل على مذهب الأكثرين أن الظاهر من الصحابِ
أنه إنَّا أورد ذلك في معرض الاحتجاج وإنَّا يكون ذلك
ع لأن حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلَ فعل الْمي
فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر ولا على
غيرهم
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan
shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada
perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan
sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang
lain, ataupun bagi orang lain.6
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi
hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi
hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki
dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi.
Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana
dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
3. Anas Tidak Melakukan Hal Itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan
An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat
hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja.
Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka
lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW
sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak
melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang
saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias
anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-
Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin
Malik:
وَزَادَ مَعْمَر في روَِايتَِهِ وَلَوْ فَ عَلْتُ ذَلِكَ بَِِحَدِهِمُ الْيَ وْمَ لنََ فَرَ
كَأنََّهُ بغل شموس
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari
Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang
dengan salah satu dari mereka saat ini, maka
mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas.
[Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh
anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih
tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya
lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa
Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali ada yang berhujjah, jika ada suatu
perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW,
sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya,
maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi
termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu
merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat,
bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan
dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali
hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging
dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar
kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah
taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita
sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai
kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu
tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main
ancam bahwa orang yang tidak melakukannya,
dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini
adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan
memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini
sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah
mendukungnya.
5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata
kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang
bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri
menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam
shaf sepanjang shalat.
F. Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki
”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan
harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin
al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan
bahwa yang mengatakan tidak menempel secara
hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa
menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan
tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf.
Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan
sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini
adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan
pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan
pendapat ulama madzhab empat yang
mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf
shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran
Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki,
malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu
tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu a’lam.
Menempelkan Kaki dalam Shalat Berjama'ah; Haruskah ? (3:4) | Fiqh
lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para
fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits
ini.
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang
berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru
mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu
analisa para ulama.
D. Kajian dan Pembahasan Hadits
Para ulama sepakat bahwa meluruskan dan
merapatkan barisan saat shalat jamaah adalah
sunnah muakkadah1. Meski Ibnu Hazm (w. 456 H)
berpendapat bahwa hukum meluruskan shaf adalah
fardhu2.
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan
kemukakan dahulu komentar para ulama terkait
implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam
memberi komentar serta menarik kesimpulan
hukum. Ada yang cenderung agak galak
mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada
juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang
cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
1. Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam
kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77
menuliskan :
،وقد أنكر بعض الكاتبيْ في العصر الْاضر هذا الإلزاق
فيها إيغال في تطبيق ،وزعم أنه هيئة زائدة على الوارد
سد الخلل لا السنة! وزعم أن المراد بِلإلزاق الْث على
يشبه ،وهذا تعطيل للأحكام العملية ،حقيقة الإلزاق
تَاما تعطيل الصفات الإلهية, بل هذا أسوأ منه
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari
adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul,
bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari
menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang
dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk
merapatkan barisan saja, bukan benar-benar
menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil
(pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang
bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil
(pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih
jelek dari itu.
Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang
dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar
menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama
dengkul dan sesama bahu harus benar nempel
dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia
katakan sebagai SUNNAH Nabi.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam
bukunya juga mengancam mereka yang tidak
sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang
yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq
itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan
barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan
bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan
mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang
muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar
terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek
dari itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh
murid-murid setianya. Dimana-mana mereka
menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah
mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak
ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu
untuk dihidup-hidupkan lag di masa sekarang.
Wah, pedas juga komentarnya. Kira-kira siapakah
penulis abad ini yang dimaksud al-Albani ya?
2. Bakr Abu Zaid
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah
seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam
Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota
Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang
berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat(Tidak Ada Yang
Baru Dalam Hukum Shalat), hal. 13. Dalam tulisannya
Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat
Al-Albani :
وإِلزاق الكتف بِلكتف في كل قيام, تكلف ظاهر
وإِلزاق الركبة بِلركبة مستحيل وإِلزاق الكعب بِلكعب
فيه من التعذروالتكلف والمعانَة والتحفز والاشتغال به
.في كل ركعة ما هو بيِّْ ظاهر
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri
adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata.
Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah
sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki
dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
في التسوية: -رضي الله عنه -فهذا فَ هْم الصحابِ
الاستقامة, وسد الخلل لا الِإلزاق وإِلصاق المناكب
والكعاب. فظهر أَن المراد: الْث على سد الخلل
واستقامة الصف وتعديله لا حقيقة الِإلزاق والِإلصاق
Inilah yang difahami para shahabat dalam
taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela.
Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka
dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk
menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan
benar-benar menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H)
hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar
menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu.
Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan
dan meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam
memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini
berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya
saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan
bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia,
dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap
sifah Allah.
3. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita
temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-
Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya
tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun
menjawab saat itu dengan jawaban yang agak
berseberangan dengan pendapat Al-Albani.
أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق
هو ليس مقصوداا لذاته لكنه المحاذاة وتسوية الصف, ف
مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم, ولهذا إذا تَت
الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه
بكعب صاحبه لتحقق المساواة, وليس معنى ذلك أن
.يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماا له في جميع الصلاة
Setiap masing-masing jamaah hendaknya
menempelkan mata kaki dengan jamaah
sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi
menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya,
tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah
sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri,
hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki
dengan jamaah lain agar shafnya lurus.
Maksudnya bukan terus menerus menempel
sampai selesai shalat.3
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang
bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti.
Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana
bagaimana agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di
awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah
mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak
perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya
menempel-nempelkan kakinya ke kaki orang lain,
yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
4. Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama
besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih
Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan:
يدل على أن تسوية الصفوف: حديث أنس هذا:
.محاذاة المناكب والأقدام
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu
dan telapak kaki.4
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa
maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu
dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
5. Komentar Ibnu Hajar (w. 852 H).
Ibnu Hajar al-Asqalani menuliskan:
الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ في تَ عْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِِّ خَلَلِهِ
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan
dalam meluruskan shaf dan menutup celah. [Ibnu
Hajar, Fathu al-Bari, hal. 2/211]
Memang disini beliau tidak secara spesifik
menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul
dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan
menutup celahnya.
6. Komentar Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) menyebutkan ada 5
kesunnahan dalam shaf shalat jamaah:
والمسنون للصفوف خمسة أشياء...أحدها: تسوية
وذلك ،حتى يكون كالقدح ،الصف وتعديله وتقويمه
دون أصابع ،يحصل بِلمحاذاة بِلمناكب والرُّكَب والكِعاب
حتى ،والثاني: التراص فيه وسد الخلل والفُرج الرجليْ.
وكعبه بكعبه. ،يلصق الرجل منكبه بِنكب الرجل
Hal yang disunnahkan dalam shaf shalat itu ada 5;
Pertama, meluruskan shaf sehingga seperti gelas
berjejer. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
meluruskan pundak, lutut dan mata kaki. Kedua,
merapatkan shaf, menutup celah, sehingga
menempel pundak dan mata kaki satu dengan
lainnya5.
Meski beliau tak menyebutkan apakah
menempelkan mata kaki itu sepanjang shalat atau
hanya ketika memulai saja, tapi beliau
menyebutkan bahwa salah satu cara agar bisa lurus
yaitu dengan meluruskan pundak, lutut dan mata
kaki. Beliau menyebutkan bahwa meluruskan dan
merapatkan shaf termasuk kesunnahan dalam
shalat jamaah.
E. Point-Point Penting